“There is no passion to be found playing small–in settling for a life that is less than the one you are capable of living.”
By Nelson Mandela
Hello World
Lombok, Maret 2018
Pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat tahun 2010 bersama temanku Susanto, William dan Surya. Waktu itu belum ada Bandara Internasional Lombok, masih dalam tahap pengerjaan. Paling tidak 8 tahun yang lalu aku sudah menginjakkan kaki di Nusa Tenggara Barat meski itu hanya sekedar lewat untuk menyebrang dari Bali ke Gili Trawangan begitu juga sebaliknya dari Gili Trawangan ke Bali. Sejak itu tidak pernah terpikir olehku untuk mengijakkan kaki lagi di Pulau Lombok sampai akhirnya aku melakukan bisnis trip ke Kota Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat.
Kalau ada kesempatan ke Mataram, salah satu wisata Lombok yang ingin aku kunjungi adalah perkampungan Suku Sasak. Waktu itu entah kenapa pertama kali ke Pulau Lombok, tidak tahu kalau ada Desa menarik bernama Desa Sade di Lombok. Tahunya malahan sekitar tahun 2012 dari membaca blog orang, tahunya ada Desa Budaya dekat Bandara Lombok. Wajar jika aku tidak tahu, toh waktu ke Lombok pertama kalinya juga belum ada bandara. Sejak itu ada keinginan dalam hati “jika aku ada kesempatan ke Lombok lagi, aku ingin melihat Desa Adat Suku Sasak”. Alhamdulillah ada kesempatan kedua ke Lombok.

Menariknya lagi, sahabatku Maulina dan Ayu datang ke Lombok. Memang kami bertiga sudah lama merencanakan berlibur bertiga ke Lombok jauh sebelum keduanya resign dari kantor tempatku bekerja sekarang. Rupanya malah terjadi bertepatan pas aku dinas ke Mataram. Nah pas liburan, aku dan Maulina menuju Desa Sade, salah satu Desa Adat yang ada di Lombok. Lokasinya memang benar, tak jauh dari Bandara Lombok. Kami berdua menuju Desa Sade dengan Go Gar. Untungnya pariwisata Lombok sudah maju sehingga transportasi umum lengkap mulai dari taxi hingga Go Gar. Kami berdua memilih naik Go Gar, dan tinggal pilih Desa Sade terus langsung diantar ke tujuan. Nah selain Desa Sade, ternyata ada juga Desa Adat di Lombok bernama Desa Ende. Kedua Desa ini kami kunjungin, namun pas bersama Maulina kami langsung ke Desa Sade.
Sesampai di Desa Sade, aku dan Maulina pertama kali menuju ke tulisan “SADE VILLAGE”. Depannya dengan rumah tradisional dan pepohonan, sehingga Maulina yang aslinya tidak suka photo, malah mau diphoto padahal Maulina masih membawa koper loh. Alhasil kopernya di geret kemana-mana hahah 😀
Setelah dari depan tulisan Sade Village kami lalu masuk ke dalam Desa Sade. Beberapa warga Suku Sasak sudah menunggu di depan Gang, menjadi guide dadakan. Aku dan Maulina masuk ke dalam sambil minitipkan tas kami. Sebelum masuk kedalam Desa Sade, kami diwajibkan membayar ‘DONASI’ yang terserah alias seiklasnya tapi dipatok. Di patok disini maksudnya ditulis jumlah donasi dalam buku tamu kemudian tertera berapa dikasih tamu itu seolah patokannya itu. Misal daftar tamu terakhir mengisi donasi Rp25000 maka tamu itulah menjadi patokan donasi masuk. Tidak ada karcis, maupun tiket masuk, namun biayanya berupa donasi.

Setelah membayar donasi, kami berdua melanjutkan perjalanan. Rumahnya dari jerami kemudian tradisional serta pakaian tenun dan kain tenun sudah dipajang sampai kain tenun juga. Yang membuat Desa Sade menarik adalah perkampungan Sasak yang masih mempertahankan budaya dan adatnya. Di Desa Sade bisa melihat langsung ibu-ibu menenun kemudian kerajinannya bisa dijual untuk oleh-oleh bagi pendatang. Menariknya di Desa Sade bisa mengenal Suku Sasak, serta adanya pertunjukan bela diri dari masyarakat.
Aku dan Maulina berdua saja keliling Desa Sade, hingga ada satu Bapak yang menghampiri kami. Beliau bercerita tentang Desa Sade dan tempat yang sering dikunjungi wisatawan ke Desa Sade, salah satunya adalah Pohon Cinta.

Aku dan Maulina malahan lebih tertarik kepada berburu kain tenun khas Lombok. Namun pas di depan harganya 300ribu sehingga kami segan untuk menawar. Si Bapak berjanji membawa kami ke tempat jualannya yang jauh lebih murah. Dan benar saja pas kami dibawa ke tempat jualan si bapak harganya lumayan terjangkau sehingga aku kilaf dan belanja baju dan kain Lombok dengan harga yang ramah di kantong.
Tak sia-sia ke Desa Sade, dapat kain tenun dapat baju tenun khas Lombok 🙂

Tidak hanya itu saja, sepanjang jalan mengitari Desa Sade, kami belajar banyak hal dan melihat kehidupan warga di DESA SADE. Ada satu nenek yang berjualan kain, entah kenapa si nenek ini mengingatkanku dengan Almarhum nenekku. Sehingga pas melihat si Nenek, rasanya pengen peluk.
Menurut si Bapak, nenek ini sudah berumur hampir 90an. Kebetulan pas kami lewat memang si nenek sendirian di rumah, cuma aku tidak berani bertanya apakah si nenek memang hidup sendirian atau tidak. Yang pasti di depan rumah si nenek terdapat gelang yang dijual hanya Rp5000 sampai Rp35000. Tentu saja aku dan Maulina langsung membeli gelang si nenek, sebagai kenang-kenangan.

Di Desa Sade juga terdapat masjid yang bentuknya unik, mirip bentuknya seperti rumah Sasak. Kami sempat mengunjungi masjid. Dan untuk pohon cinta sendiri berada di pertengahan Desa Sade. Pohon cinta ini berupa pohon tanpa daun yang sekelilingnya tersusun batu melingkar. Tapi bukan itu yang menarik dari Desa Sade, dari gaya rumahnya, bentuknya serta kesan alami. Bahkan masyarakat Desa Sade memiliki rumah yang depannya terlihat lebih rendah yang memiliki makna agar tamu merunduk saat masuk ke dalam rumah untuk menghormati tuan rumah. Menariknya lagi, rumah Desa Sade dipel dengan kotoran kerbau, namun pas masuk tidak ada bau kotoran kerbau sama sekali.
Keren kan?

Meski perjalananku termasuk singkat di Desa Sade, namun banyak hal yang aku pelajari. Belajar tentang mencintai Budaya sendiri serta melihat kehidupan suku Sasak. Trip Suku Sade juga merupakan trip perdana dengan sahabatku, si Maulina!
Kapan lagi coba teman menghampiri pas di bilang “aku di Mataram, mau kesini gak?” terus beli tiket dari Jakarta langsung menghampiri ke Mataram. That’s her, what an amazing friend 🙂

Alamat Desa Sade
Desa Rembitan, Pujut
Lombok Tengah
Nusa Tenggara Barat
Salam
Winny
Wah belum sempat ke sana. Baru ke Rinjani dan Senggigi.
aku malahan belum ke Rinjani kak
Bagus Win
Wah sudah ada Gocar dari bandara? Ini perkembangan yang sangat bagus. Mudah-mudahan semakin banyak alternatif transportasi dari airport menuju ke kota atau pun destinasi di sekitarnya, termasuk Desa Sade ini, hehe.
Saya belum pernah singgah betul ke Sade, jujur saja. Selama ini hanya lewat di depannya, dan hanya tahu kalau di dalam masih banyak bangunan tradisional Sasak. Membaca deskripsi di sini, menurut saya permukimannya lumayan otentik. Mudah-mudahan terus terjaga sebagai destinasi wisata budaya unggulan, karena tempatnya dekat dengan bandara.
Ngomong-ngomong saya baru lihat penampilan barumu, Mbak. Tambah cantik, hihi.
udah ada Gara, aku malahan pengen ke pantai yang dlu pernah drum tulis. yang masih kental banget itu malahan desa ende. eh dirimu tinggal di mataram kan ya?
Desa Ende ini di mana ya? Haha.
Oh, Pantai Tebingkah? Itu di Lombok Utara.
Iya, (salah satu) kampung halaman saya adalah Mataram. Hehe.
Waah, keren Mbak. pengen ke Lombok sejak lama, belum kesampaian 😦
itu beneran di pel pake kotoran kerbau ya rumahnya, tapi kok ga bau, gimana tekniknya ya..
iya beneran di pel bahkan rumahnay dlu diacmpur ama kotoran kerbau tp gk ada bau-bau kotoran kerbaunya
Jalan jalan ke desa, terus membaur dengan masyarakat tuh emang asik banget ya kak Win 😀
Ada sensasi lain ketika mendengar warga bercerita. 😀
iya melihat kehidupan mereka dan berbaur
ohh ternyata di pel pakai kotoran kerbau toh aku pikir lantainya ada campuran kotoran itu..
lhooo bukannya km dulu lama kerja di ntb win ??
Kalo ke lombok bawaannya selalu ingin ke pantai, jarang wisata budaya…mungkin suatu saat (jika sudah bosan dengan pantai) heheee
harus dicoba pak