Pengalaman Bersama Mertua Keliling Wisata Sumatera Barat


Hello World!

Padang, 15 Juli 2019

Karena resepsi pernikahanku tanggal 21 Juli 2019, akhirnya Mertua datang dari Perancis. Ini pertama kali bagi Mertua datang ke Indonesia dan mereka sebenarnya takut berkunjung ke Indonesia, alasannya karena mereka menganggap transportasi di Indonesia masih buruk. Kalau bukan aku menikah dengan anaknya, kemungkinan mengunjungi Indonesia itu pilihan terakhir.

Mertua datang tanggal 15 Juli 2019, aku dan suami langsung ke Bandara Minang Kabau Internasional untuk menjemput. Tidak hanya Mertua yang datang untuk melihat resepsi pernikahan kami, teman suami dari Irlandia yang kebetulan tinggal di China juga datang. Kedatangan Mertua dan Loraine (teman suami) bersamaan sehingga kami menjemput ketiganya sekalian. Kedatangan mereka jam 4 sore dan kami belum tahu apakah akan menginap di Padang atau langsung ke Payakumbuh karena tanggal 16 malamnya kami harus ke Padangsidimpuan untuk “marfokat” di tanggal 17 Juli. Oh ya arti “marfokat” itu musyawarah mengenai resepsi pernikahan kami karena kami menggunakan adat Batak Angkola dan suamiku diberi Marga.

Pas pertemuan dengan Mertua dan Loraine sangat hangat, meski Mertua sangat capek karena mereka dari Perancis dan sedikit jetlag. Kami langsung ke Payakumbuh karena keterbatasan waktu serta cuma sehari untuk menjelajah wisata Payakumbuh.

Sebelumnya aku sudah mencari penginapan di Payakumbuh untuk Mertua sementara Loraine setuju menginap dengan kami. Cara kami dari Padang ke Payakumbuh dengan menyewa travel dari Bandara. Maklum Mertua sudah lelah sekali setelah perjalanan panjang, jadi wajar ingin transportasi yang nyaman. Biasanya kalau aku ke Payakumbuh dari BIM naik kereta Rp10.000 turun di Tabing terus naik mobil travel Rp25.000 jadinya total Rp35.000. Tapi ini kami berlima bayar Rp350.000 ke Payakumbuh, lumayan mahal buatku tapi karena dibayarin suami aku sih slow saja. Sebelumnya aku sudah memesan penginapan di Hotel Bundo Kanduang di Payakumbuh untuk Mertua. Lama perjalanan Padang-Payakumbuh 4 jam dan kami tiba sekitar jam 8 malam.

Nah selama mertua di Payakumbuh ada beberapa pengamalan yang aneh bin ajaib yaitu

1.Disuruh Batal Menginap

Sumatera Barat

Jadi Mertuaku itu bawa barang banyaknya minta ampun, ada 3 koper plus embel-embel. Kami yang harusnya bayar 5 kursi jadinya 6 kursi.  Sesampai di penginapan di Payakumbuh, nah yang anak Empunya Hotel minta buku nikah Mertua. Padahal ya Mertua gak ada buku nikah kayak kita di Indonesia. Untungnya aku sebelumnya minta dibawain buku keluarga Mertua karena keperluan Capil. Kalau tidak mana mungkin dibawa Mertua buku keluarga. Saat ditanya begitu, Mertuaku  kaget, “kok minta buku nikah”.

Kami sempat menjelaskan bahwa orang luar tidak semua memiliki buku nikah dan si anak yang punya hotel tetap kekeh akhirnya keluar kala “stupid”. Karena kata “stupid” ini kami ulang,  si anak langsung tersinggung dan menyuruh cari hotel lain aja. “Mbak kalau gak suka, cari hotel lain saja, saya tersinggung begitu katanya”!!

What the…….???? So cocky!!

Kalau aku mungkin digituan amit-amit tapi mau gimana Mertua barangnya banyak dan gak mungkin nyari tempat lain lagi kalau gak ogah nginap di Hotel ini.  Untung ada Loraine yang menjelaskan “stupid tidak hanya artinya bodoh tapi bisa silly”.

Baru juga Mertua sampai ke Indonesia sudah ada “bad welcome”. Bukan apa-apa, boleh aja itu hotel tidak menerima yang bukan pasangan tapi masa iya udah jelas-jelas itu Mertua dan anaknya ada samaku dan tidak semua negara yang membawa buku nikah atau ada buku nikah kayak kita bukan berarti mereka tidak menikah. Mungkin si anak ini jalannya kurang jauh, makanya seperti katak dalam tempurung dan perilakunya cukup bikin elus dada buat “sabar”.

Ini benar-benar pengalaman buruk pertamaku dalam dunia perhotelan/penginapan. Untungnya si anak ini akhirnya memberikan fasilitas kamar yang harga Rp400.000 meski bayarnya Rp250.000 karena harusnya Mertua di lantai 2. Tapi entah kenapa tetap bagiku yang sering jalan-jalan dan bukan sekali dua kali menginap di hotel pelayanannya sangat buruk padahal “service is priority” meskipun misalnya si konsumen bikin sakit hati.

So big NOOO for this hotel!!

2.Ke Air Terjun Murai

air terjun murai harau

Setelah kejadian yang tidak menyenaNgkan dengan penginapan, di hari kedua kami berencana keliling wisata Payakumbuh. Kami menyewa mobil seharian Rp450.000 dengan tujuan Harau.  Kami memulai perjalanan jam 10 pagi dan langsung menuju ke Harau. Harga tiket masuk ke Harau Rp5.000 dan tujuan kami ke air terjun.

Eh ternyata sesampai di Harau, kami tidak jadi ke air terjun yang hendak kami kunjungin karena Pak Wan yang akan jadi turguide kami sibuk. Akhirnya kami ke air terjun Murai, air terjun yang sebelumnya sudah pernah aku dan suami datangin.  Mertua dan Loraine sangat suka dengan air terjun Murai apalagi dengan kejernihan dan dinginnya air terjun. Suamiku mandi di Murai ini, sementara kami berlima hanya duduk santai saja. Aku meski sudah dua kali ke  Murai tetap suka namun kami hanya sampai di dasar saja tidak sampai ke tingkat ke tujuh air terjun.

3. Ikan Larangan Ikan Banyak

Dari air terjun Murai kami ke Mudiak untuk melihat ikan larangan ikan banyak. Ini pertama kalinya aku ke Mudiak dan baru tahu kalau ada wisata ikan banyak di Lima Puluh Kota.

Dulu sekitar tahun 2017 aku ke ikan larangan di Siais, Sumatera Utara. Ternyata aku bisa melihat ikan larangan lain di Sumatera Barat.

Perjalanan ke ikan larangan di Mudiak itu cukup jauh tapi pemandangan Mudiak cukup indah. Menariknya kami tidak perlu bayar pas masuk ke Ikan banyak. Free, dan kami suka itu!! 🙂

Ikan banyak berada di Sungai, dan tidak ada satupun masyarakat yang berani mengambil ikan tersebut. ikannya berwarna hitam dan bergerombolan. Kami sempat membeli makanan ikan seharga Rp5000 dan memberi makan ikan tersebut. Ikan tersebut akan berlomba merbut makana yang kami taburim. Mertua sangat suka dengan wisata ini apalagi Mertua laki yang langsung ngasih makan ikan.  Dan disinilah kami makan siang karena sebelumnya kami sudah melakukan persiapan dengan membeli bekal makanan di perjalanan.

Lokasi Objek wisata Ikan Banyak :

Di Nagari Pandam Gadang,

Kecamatan Gunuang Omeh,

Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

4. Kebun Jeruk Koto Tinggi

Dari ikan banyak waktu menunjukkan jam 2 padahal jam 6 sore kami sudah memesan travel ke Padangsidimpuan. Mertua awalnya pengen pulang saja karena sudah lelah tapi akhirnya kami ke Kebun Jeruk yang ada di Gunung Omeh. Kami sempat ke Balai Godang Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh lalu balik lagi ke perkebunan jeruk di Sungai Siriah, Kenagarian Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Untuk menuju ke kebun Jeruk Koto Tinggi, kami melewati Nagari dengan rumah Gadang. Rumah Gadang yang teruntai indah dan aku suka dengan design dari rumah Gadang. Dari kampung ini kami berjalan ke kebun jeruk/limau. Jalan kaki ke Kebun Limau itu tidak jauh, hanya 20 menit saja lalu kami sempat membeli jeruk seharga Rp20.000 baru melanjutkan pulang. Untuk kesan ke kebun jeruk,  Mertua dan Loraine tidak begitu antusias karena mereka sudah terbiasa melihatnya beginian dinegaranya. Cuma menikmati jeruk dari kebunnya seru juga, aku sendiri pernah ke Kebun Jeruk di Berastagi.

5. Tabrakan dan Penahanan di sekitar area Gunung Omeh

Rumah Gadang

Setelah dari kebun jeruk kami pun pulang. Nasib malang menyertai kami, mobil kami mengalami tabrakan.  Sebenarnya bukan tabrakan tapi mobil yang kami sewa kejatuhan anak, jadi menurut Mertua laki-laki yang kebetulan duduk di depan, seorang anak yang membawa motor tanpa helm tiba-tiba ingin menghindar dari mobil dan jatuh ke mobil yang kami tumpangin. Aku sendiri pas kejadian tidak melihat bagaimana alurnya karena aku tidur dan berada di posisi paling belakang.

Entah panic atau apa, driver kami hendak lari tapi tiba-tiba Mertua, Loraine dan suami ingin mengetahui keadaan si anak. Pas si anak jatuh sampai berdarah tiba-tiba muncul warga serame-ramenya. Karena melihat yang keluar dari monil itu Bule langsung aku mendengar teriakan warga “oh Bule ini yang nabrak”. Padahal mereka tidak tahu kalau Bule yang mereka maksud adalah penumpang bukan driver. Coba kalau mereka yang mengendarai, bisa di bacok massal kali ya!!. Inilah alasan suamiku tidak mau mengendarai mobil di Indonesia katanya “driver Indonesian is crazy, no rules and dangerous”.

Kesialan tidak sampai disitu, meski driver kami hendak membawa ke Rumah Sakit ternyata ada satu warga yang bawa parang dan menyuruh paksa salah satu dari kami turun sebagai tawanan. Nyuruhnya pake ngancam dan golok tajamnya sambil dimainkan kearah kami, padahal situasi sedang panik-paniknya ditambah orang yang tidak tahu cara berperilaku sopan santun. Aku sih tidak takut, kalau misalnya di bacok di waktu itu. paling itu orang masuk penjara, kalau aku mati toh gak tau juga apa yang terjadi, mati tinggal di kubur. Tidak dengan suamiku, Mertua serta Loraine mereka panik luar biasa. Mereka terkejut dan tidak menyangka perlakuan “main hakim sendiri” datang di keadaan genting seperti itu. Akhirnya daripada yang bawa golok makin kesetanan, akhirnya aku keluar dari mobil dan suami ikut keluar karena dia tidak mau aku sendirian di kampung  yang tidak aku tahu namanya. Suamiku khawatir denganku padahal aku mah biasa aja.

Gunung Omeh

Lalu Mertua, Loraine, driver dan anak yang jatuh itu menuju ke Suliki dan dari belakang diiikuti warga sekitar. Sementara aku dan suami jadi tahanan warga, alasannya biar meyakinkan kalau anak ini akan di bawa ke Rumah sakit. Sungguh pemikiran yang sangat primitive karena jelas-jelas sudah ada yang mengikuti dari belakang dan entah kenapa aku dan suami jadi “tahanan” untuk hal yang bukan kesalahan kami.

Saat ditahan suami mukanya sangat BETE sekali, kalau aku lebih tenang dan tidak takut. Iya di dunia ini aku tidak takut dengan manusia, apalagi bukan salahku. Dan sorry aku bahkan tidak takut diancam begitu karena menurutku perilaku seperti itu norak dan tidak berkelas. Tapi aku tidak mau juga petentengan alias uji coba melewan orang seperti itu. Not my class!!

Setelah kami ditahan beberapa saat, dan situasi sudah mulai membaik, warga sekitar akhirnya menawarkan untuk masuk ke rumahnya tapi kami menolak karena penahanan ini sangat tidak masuk akal. Kemudian aku menjelaskan bahwanya anak tadi itu bukan tertabrak tapi dia kaget lalu jatuh ke mobil pas mobil berhenti dan itu adalah penjelasan suamiku. Aku menjelaskan bahwa kami itu hanya menyewa mobil tersebut dan jam 6 harus ke Padangsidimpan dan karena kejadian membuat kami berpisah dengan Mertua. Aku tahu pasti bhawa Mertua khawatir dan kami tidak tahu kabar mereka. Belum lagi tidak ada jaringan di Nagari yang kami ditahan, sempurnalah hidupku dan suamiku.

Setelah cerita duduk perkara permasalahan yang terjadi serta seluk beluk kejadian, akhirnya warga membolehkan kami pulang karena merasa kasihan katanya, tapi dengan memberikan jasa motor ke Suliki tempat anak ini bawa, namun bayar Rp20.000 per motor. Sontak suami gak mau, katanya “they hosted us and now asked for money, so really educated. But Never”.

Gunung Omeh

Akhirnya setelah warga pulang dan bubar, kami berdua menolak tawaran manis itu dan jalan kaki dari Nagari yang membuat kami sangat kecewa. Aku tidak pernah melihat suamiku marah, tapi kelihatan betul dimatanya betapa tidak sukanya dia dengan perlakuan orang di Nagari tersebut. Untung dari kecil sudah terbiasa melihat parang, jadi udah besar begini sudah kebal. Yang kasihan sih suami karena trauma banget. But bad things sometimes happened in life, did not it??

Kemudian tidak mau berlama-lama di Nagariyang aku tidak tahu namanya, kami berdua meninggalkan kampung itu, Katanya ke Suliki hanya 20km saja dan kami memilih jalan kaki daripada tetap di tempat tersebut. Beruntungnya aku memiliki ilmu “numpang” saat backpackeran. Aku aplikasikan untuk mencari cara keluar jauh-jauh dari tempat itu. Dari sekian banyak orang jahat, maka sekian banyak juga orang baik. Kami menemukan orang baik yang mau memberikan tumpangan kepada kami. Aku dan suami menumpang di mobil pick up dan menuju ke Suliki. Mobil pick up yang kami tumpangi itu menampung pasir dan suamiku duduknya jongkok di dalam mobi pick up saking tidak pernahnya naik mobil pick up. Aku sungguh iba padanya, hidupnya susah karena “Kecintaanku kepada Indonesia ini”.

Oh ya mobil pertama yang kami tumpangin, tak jauh dari Nagari yang masyrakatnya menahan kami karena tujuan mobil yang kami tumpangi dekat saja. Lalu kamipun menumpang lagi mobil kedua dan lagi-lagi dengan mobil pick up tapi kali ini cukup beruntung karena sampai ke Suliki dan duduk didepan. Aku bercerita ke Bapak tersebut kejadian yang barusan kami alami, kejadian yang belum pernah aku alami meski sudah menjelajah kemana-mana.

Jam 6 sore kami sampai di RS Suliki dan langsung bertemu dengan Mertua dan Loraine yang mengkhawatirkan kami. Setelah mendapat signal, aku langsung menelpon travel untuk menunda keberangkatan jam 7 malam ke Padangsidimpuan dan Alhamdulilah bisa. Setelah menyelesaikan permsalahan ke kampungku, titik terang berdatangan, pemiliki mobil datang untuk menyelesaikan permasalahan sehingga anaknya yang driver kami bisa membawa kami menuju ke Payakumbuh. Padahal si anak masih di RS, tapi karena kami mau pergi akhirnya yang mengurus permasalahan ialah Bapak pemilik mobil.

Itulah pengalamanku dengan Mertua di Sumatera Barat dengan kejadian yang aneh bin ajaib. Memang katanya pas mau acara nikah itu, darah itu panas entah apa maksudnya. Yang pasti kami masih harus melakukan perjalanan ke Padangsidimpuan selama 10 jam dan melupakan kejadikan tabrakan dan penahanan untuk sesaat. Hati kami lelah dan cukup memiliki hari yang berat.

Salam

Winny

Advertisement

Published by Winny Marlina

Indonesian, Travel Blogger and Engineer

9 thoughts on “Pengalaman Bersama Mertua Keliling Wisata Sumatera Barat

  1. Winny, penginapan di Payakumbuh itu mungkin menganut konsep syariah. Pengalaman orang tua memang niat menginap di hotel syariah di Solo memang bawa copy buku nikah & KK. Jadi menurutku gak ada hubungannya dengan mainnya kurang jauh. Kalau konsep syariah ya mau tidak mau tamu mengikuti aturan hotel/penginapan.

    Jika aku di posisi Winny, saat rusuh dengan massa kampung. Aku akan ‘pasang badan’ karena membawa WNA dan supir yang mungkin pemikirannya berbeda. Namanya di kampung orang betul gak bisa petantang petenteng. Pasti akan akan fake ramah gitu. Gimana caranya biar gak ada penahanan.

    Bersyukur semua bisa dilewati dengan aman ya, Winny.

    1. Iya betul kak tapi si anak harusnya jangan ngusir dan suruh penginapan lain. Lagian tidak semua orang luar memiliki buku nikah seperti kita karena mereka kan sistemnya online tidak manual. Untuk yang masalah massa itu memang gak bisa kalau main kabur aja kak karena pintu mobil udah dibuka sambil bawa parang gede ke arah kami makanya aku keluar waktu itu dan suami mengikutin. Tapi ini benar-benar pengalaman terburuk sepanjang karir jalan-jalanku kak. Untungnya saat penahanan kami tidak diapa-apain. Tapi jadi kapok ke kampung itu

      1. Kalau sampe ngusir keterlaluan juga ya. Semoga gak ada kejadian gak enak lagi ya. Memang harus tetap waspada di mana pun berada.

  2. wahh gila, ini sih pengalaman yang paling tak mengenakkan.
    Saya sebagai orang Lima Puluh Kota juga merasa geram dengan perlakuan yang semena-mena itu mbak. Walaupun saya belum pernah sekalipun ke arah nagari itu, tapi rasanya barbar juga masyarakat disana

    1. Gak apa pak, saya maklum namanya lihat kecelakaan pastilah jadi marah cuma memang perlu edukasi kepada masyarakat ke pelosok bahawa tidak boleh main hakim apalagi menyandera orang sembarangan

  3. Pengalaman yang tidak mengenakan, pakai banget. Saya ikut masygul dan prihatin atas kejadian itu.

    Orang kurang jauh pikniknya dan kurang membaca, memang kadang agak tertutup wawasannya. Maklumi dan sabar aja Win.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: