Hello World!
Siberut, 6 Desember 2018
Jam 1 siang kami sampai di Dermaga Maileppet, aku yang sedikit mual karena 15 jam di kapal, keluar seadanya dari kapal dengan perasaan bercampur aduk, antara mabuk laut dengan senang melihat daratan. Arif dan Andre langsung keluar dengan muka sedikit bahagia. Di Dermaga kami langsung di rayu oleh Bapak Becak.
"Ke Kota Rp25.000 jauh itu sekitar 7 km", katanya kepada kami
Kami saling pandang kemudian memutuskan untuk naik becak si Bapak karena malas juga jalan kaki. Si Bapak Supir juga berjanji mencarikan kami penginapan di Siberut. Benar saja kami dibawa keliling Siberut mulai dari Dari Desa Maileppet hingga ke Desa Muara.
"Kalau di Desa Maileppet itu mayoritas penduduknya Kristen dan di Muara Muslim", kata Si Bapak melanjutkan

Dalam perjalanan dengan becak, aku memperhatikan kalau di Desa Maileppet banyak Gereja dan rumah penduduknya sangat sederhana. Benar-benar sederhana, dan sepertinya mereka hidup bahagia. Jauh dari teknologi, listrikpun sepertinya terbatas.
"Di Siberut Selatan ini mudah menemukan Sikerei, penduduk asli Mentawai", kata si Bapak
Kami kemudian mendapatkan penginapan murah di Desa Muara, Siberut Selatan. Penginapan kami bernama AA dengan harga penginapan Rp50.000/malam. Penginapan ini murah karena aku satu-satunya wanita dalam rombongan ini terus di Ibu pemilik penginapan kasihan makanya kami diberikan 2 kamar. Andre dan Arif berdua sekamar dan aku memiliki kamar sendiri. Beruntung ya?Penginapan yang kami tempatin pun ala kadarnya terbuat dari kayu, dengan kipas angin dan kamar mandi di luar. Ada pemandangan laut dari penginapan, meski pantainya kotor dengan sampah.

Setelah mendapatkan kunci dan menaruh barang, kami kemudian menjelajah Siberut Selatan. Siberut Selatan lebih ramai bila dibandingkan Sikabaluan. Paling tidak ada wifi gratisan di Posyandu, jaringan Telkomsel masih ada meski hanya bisa SMS dan teleponan, bahkan ada juga Bank. Intinya pusat pemerintahan ada di Siberut Selatan. Yang lucu aku, Andre dan Arif hobinya ke Posyandu demi mencari wifi gratisan. Maklum mereka berdua anak Kota, tidak terbiasa hidup tanpa internet. Tapi jangan tanya lambat internet di Siberut, cukup melatih kesabaran, syukur-syukur ada.
Hari pertama kami di Siberut Selatan hanya bersantai dan keliling serta melihat situasi saja.
Malam hari kami makan malam di sebuah warung dekat penginapan.
"Bu, baa caronya caliak Sikerei", tanyaku (Bu gimana caranya bertemu Sikerei) "Ibu ndak tahu, ibu baru disiko", katanya
Dari hasil diskusi dengan Andre dan Arif seorang Bapak nimbrung untuk menawarkan ke rumah Sikerei di Desa Buttui tapi tidak menjamin bisa bertemu dengan Penduduk asli Sikerei karena jika ingin bertemu Sikerei di hutan harus berjanji dulu.
"Kok bisa ya ke Mentawai tapi tidak cari informasi dulu", begitu katanya

Kami bertiga agak gimana dengan si Bapak lalu kami memutuskan jasa Bapak Becak kami daripada bapak yang menawarkan jasa di Warung karena harga dengan si Bapak ini tidak masuk akal misalnya menyewa perahu dengan harga Rp5.000.000 padahal kami sempat ditawarkan hanya Rp1.000.000 saja.
Akhirnya kami janjian dengan Bapak Supir Becak untuk mengantar kami ke Sikerei di Desa Munte. Karena tidak memungkinkan kami ke hutan trekking selama 5 jam dengan cuaca yang tidak bersahabat juga. Sehingga jika ingin ke Mentawai, rajin-rajinlah untuk melihat cuaca.

Kita kalau kehutan apalagi belum tentu ketemu Sikerei kan malas banget. Mending kita bertemu Sikerei yang di sekitar ini aja ya, kata Arif.
Yang lucu kami ke Siberut kerjaan apa coba pas malam hari setelah makan malam?
Nonton film “Tao Kae Noi”, gokil kan?

Biaya hari kedua di Siberut Selatan
13.00-14.00 Naik becak dari Dermaga ke Desa Muara di Siberut Selatan Rp75.000/3 orang
14.00-15.00 Mencari penginapan
15.00-20.00 Di penginapan AA Rp50.000/malam
20.00-21.00 Makam malam Rp20.000/orang

Hari H bertemu dengan Suku Sikerei
Kami berjanji dengan Bapak Becak jam 2 siang setelah jumat untuk bertemu dengan Suku Sikerei, suku asli pedalaman Mentawai di Desa Muntei. Untuk bertemu dengan Sikerei, kami harus membawa rokok dan kue. Memang jika bertemu dengan Sikerei harus membawa sesuatu sehingga kami harus ke warung dulu. Ibaratnya membawa oleh-oleh buat bertamu.
Saat kami hendak bertemu dengan Suku pedalaman di Desa Muntei, ada hal yang menarik. Kami bertemu dengan seekor anjing yang kemudian menuntun kami ke rumah Sikerei. Anjing ini benar-benar pintar membawa kami berempat ke rumah Sikerei. Saking gemesnya aku memberikan roti ama anjing yang menuntun kami ke rumah Sikerei. Anjing tersebut menunjukkan rumah Sikerei yang ingin kami kunjungin.

Saat kami sampai di rumah Sikerei, dia tidak ada sehingga Bapak yang membawa kami mencari suku Sikerei. Beruntungnya kami hanya menunggu 15 menit saja dan Sikerei yang kami tunggu datang.
Sikerei datang dengan membawa tumbuhan untuk obat-obatan. Rumah Sikere yang disebut “ama” memang sederhana hanya terbuat dari kayu, yang dibangun sendiri oleh Suku Sikerei. Sikerei yang kami temui kebetulan yang sering diundang Kementrian untuk acara-acara adat. Sikerei yang kami jumpain cukup gaul sudah pernah ke Jakarta, Bali dan tahun depan ke Papua. Dalam kesehariannya, Sikerei bekerja sebagai “Dukun” alias yang mengobati orang sakit. Obat dibuat dari tumbuh-tumbuhan untuk mengobati penyakit. Selain mengobati, Sikerei suka juga suka berburu atau berkebun. Bahkan di rumah Sikerei kami melihat tengkorak hewan seperti kera, babi dsb. Hasil buruan ini akan dimasak dan dimakan oleh Sikerei.
"I can speak English little a litte, kata Sikerei kepada kami
Yah Sikerei yang kami ketahui bisa Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia sedikit-sedikit. Bahkan Sikerei yang kami jumpain sudah memakai jam tangan yang diberikan oleh pengunjung.

Apa arti tato di badan?, tanya Andre
Jadi Sikerei memiliki tato yang mereka buat sendiri yang memiliki arti tersendiri. Suku Sikerei di Desa Muntai banyak tapi beberapa dari mereka sudah berpakaian seperti normalnya, tapi beberapa memakai pakaian minim. Khusus Sikerei yang kami jumpain hanya memakai seperti “celana dalam” dan tidak memakai sandal.
"Pak, saya boleh minta racun itu ndak", minta Arif "Boleh", kata Sikerei yang kami jumpai
Aku mau minta gelang Sikerei tapi segan euy. Akhirnya aku hanya minta photo dengan Sikerei saja.

Sikerei yang kami temui baru saja kehilangan istrinya. Jadi pas ngobrol sikit-sikit tentang “perempuan”. Katanya kalau yang sakit “perempuan”, maka harus cepat diobati. Sampai kami ngakak mendengarnya. Andre dan Arif yang paling banyak bertanya sedangkan aku hanya mendengarkan seksama saja.
"Win, kami berdua sepakat dirimu tinggal disini aja Biar jadi istri Sikerei, kan dirimu udah berumur jadi cocok", kata Arif
Emang ya punya teman perjalanan kampret kali. Katanya kalau dua udah setuju maka itu sah. Benar-benar dah!!

Kami berada di rumah Sikerei 3 jam namun banyak pengetahuan yang kami dapatkan terutama bagaimana tentang hidup Suku Sikeri.
Pulangnya kami jalan kaki dari Rumah Sikerei, dengan jalanan yang melewati hutan-hutan dan pedesaan. Begini rupanya hidup di Pulau yang semuanya masih terbatas dengan suku yang masih memegang erat Budayanya.

Biaya hari ketiga di Siberut Selatan
08.00-12.00 Explore Pantai Siberut, makan pagi
12.00-14.00 Istirahat
14.00-17.00 Ke rumah Sikerei di Desa Muntei beli roti Rp150.000, sewa becak Rp200.000/3 orang
17.00-18.00 Balik ke penginapan
18.00-19.00 Ke Posyandu di Siberut, pake wifi gratisan
19.00-20.00 Makan malam Rp40.000/3 orang

Salam
Winny
perjalanan yang menarik mbak winny. Kereen…!!
aku juga suka kalau bisa ketemu suku pedalaman dan belajar banyak hal dari mereka. Pulau mentawai memang layak untuk dikunjungi 😀
Terimakasih kak..Harus kak