Uji Nyali di Gunung Parang Via Ferrata


The fear we do not face become our limits By Unknown

Hello World!

Surakarta, Agustus 2017

Salah satu ketakutan terbesar dalam hidupku adalah ketinggian. Kalau misalnya jalan-jalan yang berhubungan dengan ketinggian pastilah membuat nyaliku ciut. Itulah sebabnya aku jarang ikut mendaki pegunungan atau olahraga yang berbau ketinggian. Walau ada juga pengalaman beberapa naik gunung tapi dipastikan yang mendaki ekstrim bukanlah aku. Jangankan mimpi mendaki seperi Gunung Rinjani, naik lift di mall aja kalau terbuat dari kaca saja membuat jantungku deg deg syerr. Bahkan meski tiap hari ke kantor dengan ketinggian lantai sampai 40 ke 50an tetap tak bisa menghilangkan ketakutan akan ketinggian. 

Tapi entah kenapa ketika temanku Melisa dan Susanto mengajakku untuk mendaki Gunung Parang aku iyakan. Awalnya kami hendak trip weekend ke Pulau Seribu dengan Ines dan Ebeth tapi karena keduanya tidak bisa akhirnya ajakan Santo ke Gunung Parang dengan photo cakep membuatku ingin ikut. Tanpa basa basi Melisa pun langsung membayar DP open trip hasil nyari di Instagram di menit-menit kepergian.

Sampai hari H aku belum tahu kalau ke Gunung Parang di Purwakarta untuk mendaki Gunung. Di benakku adalah mendaki Gunung seperti layaknya Gunung Galunggung dengan tangga atau sekelas Gunung Papandayan. Karena kedua gunung ini pernah aku kunjungi maka dibenakku Gunung Parang tak jauh-jauh dari keduanya. 

Titik kumpul kami di Semanggi dengan bantuan Melisa mencarikan open trip sehari dengan harga Rp350.000. Aku sempat telat datang jam 6:30an padahal ngumpul di itin harusnya jam 6 sudah berangkat. Santo sendiri yang paling cepat datang sementara Melisa paling telat datang. Padahal dia yang bookingin buat kami berdua. Akhirnya baru jam 8an juga kami berangkat menuju Purwakarta dengan elf. 

Selama perjalanan kami bertiga banyak ngegosip sampai kami tertidur. Sesampai di Purwakarta jam 11 dengan cuaca yang cerah. 

Ini kedua kali aku melewati jalan ini, kata Santo kepada kami

Elf pun diparkirkan dan kami keluar menuju tempat dimulai pendakian kami. Dari kejauhan aku melihat Gunung Parang dan dalam hati dimana letak tangganya. Perasaan seperti bukit terjal. Hingga sampai di sebuah tempat istirahat barulah aku sebenarnya tujuan kami mendaki melalui tangga besi. Bukan tangga semen, jadi via verrata itu dari Bahasa Italia yang berarti iron ladder alias tangga besi. Dalam hatiku “mate”.

Boro-boro naik gunung, ketinggian aja gakut. 

Piye iki?

Karena udah terlanjur akhirnya aku ikutan. Di base camp kami makan siang bersama peserta lainnya. Disini juga aku dan Melisa berkenalan dengan teman Santo dari trip Rinjani “Ditt” dan “Bu Jenny”. 

Bu Jenny malah mengajak kami mendaki 350 meter padahal kami hanya mendaki 150 meter. Eh langsung diiyakan dengan tambahan 100rb padahal aku sebenarnya gak yakin bisa naik apa ngak. Yang penting ikut-ikut saja. 

Bu Jenny sampai kegirangan ketika kami mengiyakan ikut sampai ketinggian 350 meter.

 Jam 1 barulah kami memulai mendaki. Sebelumnya kami sudah dipasangkan pelindung diri berupa helm dan alat untuk mendaki. Pas memakainya pun dibantu oleh pemandu kami. Memakainya aku merasa seperti abang-abang yang sedang membersihkan gedung tinggi. 

Karena kami berlima adalah kelompok mendaki 350m kamilah di depan lalu rombongan yang mungkin berkisar 15 ke 2an orang. Beramai-ramai dari basecamp kami melewati hutan bambu mendaki ke tempat pendakian awal kami.

Sebelum mendaki kami berdoa dan diberikan pengarahan tentang cara mendaki dan menggunakan alat mendaki. 

Tiba untuk mendaki, pemandu kami di depan lalu diikuti Bu Jen, Ditt, Melisa, Santo lalu aku. 

Dalam hati “Oh Tuhan apa yang aku lakukan”. Aku mendaki dengan alat mendaki! Pas naik tanganku gemetar tak karuan kakiku juga ikutan gemetar. Padahal baru dua tiga anak tangga besi yang aku lalui. Aku hampir turun saking gemetarannya namun dengan hati-hati aku melanjutkan mendaki berlahan.

Rute mendaki via ferrata cukup menantang, kadang miring ke kiri kadang miring ke kanan. Aku sebenarnya heran ada apa denganku kenapa senekat ini. Bukankah aku takut ketinggian?

Tekatku pun aku kuatkan dengan melanjutkan mendaki. Pas diatas angin berhembus dengan kencangnya yang membuatku semakin gemetar. Rasa panas matahari hilang dengan rasa motivasiku sampai ke atas. 

Ayoo boo pasti kamu bisa, begitu kata Santo

Ayo Win kamu bisa, kata Melisa menyemangati.

 

Dengan usaha ekstra akhirnya aku sampai di ketinggian 150meter via ferrata. Tapi aku tidak jadi mendaki ke 350 meter karena aku khawatir akan turunnya.

“Teman-teman sorry gue gk jd ke atas ya”. Aku sampai disini saja kataku!

Akhirnya keempat temanku mendaki keatas hingga 350 meter sementara aku duduk manis santai di Gua di Gunung Parang, Purwakarta. 

Beberapa orang dari peserta berlewatan hingga mereka meninggalkan aku yang masih duduk manis di dalam Gua. Bahkan sempat ngobrol dengan beberapa peserta di atas Gua. Yang pasti ini adalah pengalaman pertamaku mendaki Gunung dengan tangga besi sementara aku takut ketinggian.

Gila aku serasa berada di acara fear factor, kataku sambil ketawa tak jelas

Hampir 2 jam aku berada di Gua hingga temanku Santo dan Melisa serta Dit dan Bu Jenny kembali lagi.

Bersantai di Gua Gunung Parang membuatku lupa akan ketakutan. Apalagi pemandangan dari atas itu sangat spektakuler. Danau Jatiluhur terlihat jelas serta perumahan penduduk. Aku masih tak menyangka aku bisa manaklukkan rasa takutku.

Winny, kau keren aku fans begitu kata Melisa senyum-senyum

Padahal si Melisa gak tahu saja sebenarnya aku takut banget. Bahkan 2 jam berdiam diri di Gua menunggu mereka turun saking takutnya turun. 

Hehhehe😀

Untuk turun tak kalah ektrimnya. 

Pakai tali!!!

Seolah seperti spiderman atau cicak. Mungkin naik bisa mudah tapi pas turun justru membuatku 100x ketakutan. Disinilah aku belajar percaya akan tali dan orang yang memegangnya.

Pas turun aku membaca Alfatihah keras-keras karena berjalan diatas gunung dengan posisi seperti tidur serta bergantung pada tali tidaklah mudah. 

Disinilah aku benar-benar belajar banyak hal untuk mensyukuri hidup serta melawan rasa takut itu sendiri.

Mel tadi pas turun gampang, kan? Kataku

Iya Win turun lebih gampang dari mendaki! Kata Melisa

Sama kayak hidup Mel turun itu lebih gampang, kataku pada Melisa

Begitulah obrolan kami setelah beranjak dari kaki Gunung Parang. Waktu sudah magrib dan pengalaman mendaki pertamaku Alhamdulillah hanya memberikan bekas lembab di lutut. Tapi aku senang karena aku bisa uji nyali serta belajar mengobati rasa takut itu sendiri.

Tips mendaki Gunung Parang

1. Membawa sarung tangan

2. Membawa sunblok, kacamata, kelengkapan mendaki

3. Memakai pakaian dan sepatu mendaki yang nyaman

4. Bagi pemula sebaiknya dengan pemandu

Alamat Gunung Parang

Purwakarta, Jawa Barat

Salam

Winny

Published by Winny Marlina

Indonesian, Travel Blogger and Engineer

42 thoughts on “Uji Nyali di Gunung Parang Via Ferrata

  1. Sebagai orang yang takut ketinggian kak Win termasuk yang nekat ya. Saya aja yang sering panjat dinding masih suka gamang kalau ngeliat ke bawah langsung.

  2. Aku pernah lihat ini di salah satu stasiun tv yang ada program jalan-jalannya. Itu trek menantang banget menurutku. Duku pakai perlengkapan yang lengkap, dan fisik yang kuat. Bagi yang tidak suka ketinggian kurasa mending ditangguhkan ke sini

  3. Aku melihat ke bawah dari pohon pandang aja kadang kaki langsung lemes dan gemeteran. Tapi, untuk yang ini beneran penasarn untuk nyobanya.

    Mungkin tipsnya pas naik jangan liat ke bawah kali ya. hahaha

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: